Oleh
Chandra Purna Irawan, SH, MH
(Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI & Sekjen LBH Pelita Umat)
Chandra Purna Irawan, SH, MH
(Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI & Sekjen LBH Pelita Umat)
Muslim Entrepreneur Forum |
Banyak pertanyaan dari masyarakat terkait izin kegiatan keagamaan semisal
pengajian atau tabligh akbar. Saya
tersentak kaget, ketika ada aparat mempertanyakan izin kegiatan keagamaan (pengajian atau tabligh akbar). Paradigmanya masih salah kaprah dan cenderung melihat persoalan dari sudut pandang kekuasaan.
Kekagetan tersebut bertambah ketika membicarakan hal ikhwal kegiatan
keagamaan (pengajian atau tabligh akbar,
dll.), aparat menggunakan pendekatan
pidana yaitu Pasal 510 KUHP.
Perlu diketahui bahwa tidak semua kegiatan harus ada izin
dan pemberitahuan.
Ada 3 (tiga) jenis pembagian, yaitu:
- Wajib izin, seperti kegiatan keramaian; misalnya pesta kembang api, konser, dll (berdasarkan Pasal 510 KUHP).
- Wajib pemberitahuan dan tidak wajib izin, yaitu kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum seperti unjuk rasa, demonstrasi, atau pawai (Pasal 10 Ayat (1) UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum).
- Tidak wajib pemberitahuan dan tidak wajib izin, yaitu kegiatan keagaaman dan akademik kampus (Pasal 10 Ayat (4) UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum).
Pasal 10 UU N0. 9 Tahun 1998 adalah sebagai berikut:
(1) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri.
(2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan; pemimpin atau penanggungjawab
kelompok.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1)
selambat-lambatnya 3 x 24 jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh
Polri setempat.
(4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan
keagamaan.
***
Menjalankan agama atau beribadah atau meyakini ajaran agama
adalah hak asasi, sementara hak asasi itu artinya hak yang telah ada semenjak
manusia lahir, atau hak yang telah ada meskipun tidak ada negara.
Dalam konsep hukum, membicarakan hak dengan padanan kata right
artinya kebebasan yang diberikan oleh
hukum.
Bandingkan dengan konsep hukum izin dengan padanan kata pembolehan,
maka apabila menggunakan literatur yang ada, di mana makna izin adalah pembolehan,
di mana esensi sebelumnya merupakan tidak
boleh?
Bandingkan dengan konsep hukum izin dengan padanan kata pembolehan. Apabila menggunakan
literatur yang ada, di mana makna izin
adalah pembolehan, maka esensi
sebelumnya adalah tidak boleh.
Dalam praktik penegakan hukum, kata-kata izin dapat kita lihat di dalam UU
Kehutanan. Misalnya, pada pokoknya
orang tidak boleh “mengerjakan dan atau
menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan”, atau “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan” dan
seterusnya.
Maka seseorang
dapat dijatuhi pidana apabila “mengerjakan
dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan” atau “menebang pohon atau memanen atau memungut
hasil hutan di dalam hutan”.
Namun, seseorang
dibenarkan untuk “mengerjakan dan atau
menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan” atau “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan”
apabila telah ada izin. Ini ditandai
dengan kalimat “secara tidak sah”
atau kalimat “memiliki hak atau izin dari
pejabat yang berwenang”.
Dengan demikian, seseorang tidak dapat dipersalahkan apabila
“mengerjakan dan atau menggunakan dan
atau menduduki kawasan hutan” secara sah.
Atau “menebang pohon atau memanen atau
memungut hasil hutan di dalam hutan” apabila “memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang”.
Sehingga, membicarakan hak tidak diperlukan izin.
Sebuah konsep hukum yang tidak tepat apabila hak disandingkan dengan kata-kata izin. Dengan merujuk kepada prinsip yang
berbeda antara izin dan hak, maka mempunyai konsekuensi hukum.
Izin memerlukan persetujuan
dari pejabat yang berwenang,
sedangkan hak tidak memerlukan persetujuan
dari pihak manapun.
Adakah Pidana Kegiatan Keagamaan tanpa Izin?
Sudah saya sampaikan di atas bahwa kegiatan keagamaan tidak
wajib izin dan tidak wajib pemberitahuan. Oleh karena itu tidak ada pidana bagi
kegiatan keagamaan.
Bagaimana kalau ada yang menakut-nakuti
dengan menggunakan Pasal 510 KUHP? Pasal 510 KUHP ini menjelaskan terkait
kegiatan keramaian yang tanpa izin dapat dipidana.
Dahulu, sebelum adanya undang-undang yang khusus mengatur
mengenai menyampaikan pendapat di muka umum, menyampaikan pendapat di muka umum
memang dikenakan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terutama
Pasal 510.
Setelah adanya UU tersendiri yang mengatur kemerdekaan dalam
menyampaikan pendapat di muka umum, maka yang harus diberlakukan adalah
ketentuan UU No. 9 Tahun 1998 sebagaimana diatur dalam Pasal 63 Ayat (2) KUHP:
“Jika suatu perbuatan masuk ke dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”
Bunyi Pasal 63 Ayat (2) KUHP inilah yang juga dikenal dalam
ilmu hukum sebagai asas lex specialis derogat legi generalis,
yaitu aturan hukum yang lebih khusus mengesampingkan aturan hukum yang lebih
umum.
UU No. 9 Tahun 1998 harus didahulukan karena merupakan aturan
hukum yang lebih khusus.
Adapun Pasal 510 KUHP, adalah sebagai berikut:
(1) Dihukum dengan hukuman denda sebanyak-banyaknya Rp375,
barang siapa yang tidak dengan izin Kepala Polisi atau pegawai negeri yang
ditunjuk oleh pembesar itu:
1e. Mengadakan pesta umum atau keramaian umum.
2e. Mengadakan pawai di jalan umum.
2e. Mengadakan pawai di jalan umum.
(2) Jika pawai itu diadakan untuk menyatakan cita-cita
dengan cara yang hebat, Si Tersalah dihukum kurungan paling lama dua minggu
atau denda paling banyak Rp2250.
Keramaian umum yang dimaksud dalam hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 510 Ayat (1) KUHP, yaitu keramaian atau tontonan untuk umum dan
mengadakan arak-arakan di jalan umum.
Untuk mengetahui maksud suatu pasal dalam KUHP, maka harus
menggunakan bahasa asli darimana asal mula KUHP disusun, yaitu bahasa Belanda.
Pesta adalah
terjemahan untuk “fesstelijkheid” dan
keramaian adalah terjemahan untuk “vermakelijkheid”. Umum adalah terjemahan untuk “openbare”,
sedangkan “optocht” diterjemahkan
dengan arak-arakan.
R. Soesilo dalam bukunya Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal
(hal. 330) merujuk pada Penjelasan Pasal 510 KUHP menjelaskan bahwa yang
dinamakan keramaian umum atau pesta umum yaitu pesta atau keramaian bagi khalayak ramai yang diadakan di tempat umum,
seperti pasar malam dan lain-lain.
Pesta privat seperti sunatan, perkawinan, ulang tahun dan sejenisnya,
yang diadakan di rumah dengan kalangan sendiri dan yang diundang saja, tidak
masuk di sini.
Dari segi historis keberadaan Pasal 510 KUHP dinyatakan
bahwa dalam melakukan penyampaian pendapat harus mendapat izin dari pihak
berwenang. Hal ini dilakukan oleh kolonial Belanda untuk mencegah terjadinya
kesatuan dalam melawan Pemerintah Belanda pada saat itu.
Peserta Di Atas 300 (Orang)?
Bagaimana jika ada yang menyatakan berdasarkan Perkap dan Juklak
Kapolri peserta di atas 300 orang perlu izin dan pemberitahuan? Sudah saya sampaikan
sebelumnya bahwa kegiatan keagamaan tidak wajib izin dan tidak wajib
pemberitahuan. Oleh karena itu tidak ada pidana bagi kegiatan keagamaan.
Yang dimaksud peserta di atas 300 yang mengharuskan
pemberitahuan adalah kegiatan unjuk rasa atau pawai. Bukan kegiatan keagamaan.
Berdasar Juklak Kapolri No. Pol/02/XII/95 tentang perizinan
dan pemberitahuan kegiatan masyarakat, dalam hal ini kegiatan yang dimaksud
adalah: (1) Pentas musik band/dangdut, (2) Wayang Kulit, (3) Ketoprak dan (4) Pertunjukan
lain.
Barang siapa yang menghalangi atau mencegah hak individu
warga negara, adalah pelanggaran Konstitusi dan Peraturan Perundang-Undangan. Wallahu a’lam bishshawab.
0 Comments